Inner Child : Dampaknya Pada Perkembangan Kepribadian

Inner Child : Dampaknya Pada Perkembangan Kepribadian


Blitar, 15 Juni 2022

Tulisan ini lebih pada refleksi diri sendiri setelah membaca buku karya Patresia Kirnandita "Si Kecil yang Terluka dalam Tubuh Orang Dewasa". Entah kenapa akhir-akhir ini tertarik pada buku dengan tema-tema yang berkaitan dengan Parenting atau tentang pendidikan anak. Mungkin memang karena secara fase hidup sudah mendekati tahap itu sih, ya meskipun sejauh ini yang kebeli baru buku "Si Kecil" dan "Sekolah Apa Ini" terbitan dari InsistPress. 

Namun setelah membaca beberapa bab awal dari buku "Si Kecil" sekita menyadari bahwa membaca buku ini bukan sekedar untuk mempelajari cara pola asuh yang dapat di praktekkan kelak saat sudah memiliki tanggungjawab atas seorang anak. Melainkan juga menjadi media refleksi atas Inner Child (pengalaman masa kecil) yang telah terjadi pada diri sendiri yang tanpa sadar berdampak pada kepribadian kita saat ini. Refleksi ini menjadi penting, karena kita selaku yang sudah pernah mengalami masa kecil harus bisa memilah dan menilai kebiasaan-kebiasaan pola asuh masa kecil yang dapat menimbulkan dampak positif dan yang berdampak negatif. Dari proses refleksi inilah kedepannya kita lebih memiliki gambaran terkait pola asuh yang sekiranya ideal di terapkan dimasa saat ini yang tentunya di sesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Dan jika pada proses refleksi tersebut kita menemukan bahwa pribadi kita ternyata juga memiliki kepribadian yang kurang baik karena dampak ataupun trauma pola asuh masa kecil, maka tentunya harus segera menyelesaikan (berdamai) masalah tersebut dan segera mungkin memperbaiki hal tersebut.

Kebiasaan masa kecil yang saya terima dan ternyata dampaknya cukup besar sampai saat ini yaitu terkait kurangnya validasi orang tua ketika saya ingin berekspresi seperti anak kecil pada umumnya. Saya kecil sangat sering di marahi atau sekedar di peringatkan ketika ingin melakukan hal-hal sepele yang seukuran anak kecil seharusnya masih dapat di toleransi. Seperti misalnya ketika bertamu di rumah saudara saat lebaran, maka untuk seorang anak kecil memiliki keinginan untuk lari-lari atau sekedar mencoba satu persatu jajanan yang ada jelaslah ada. Namun saya sering di peringatkan, untuk tidak melakukan hal itu tanpa adanya penjelasan yang baik. Atau misalnya saat kecil di larang ikut tidur di mushola dekat rumah yang mana saat saya masih MI/SD dulu, masih banyak anak kecil seumuran saya yang setiap malam minggu tidur di mushola dan besok paginya setelah sholat subuh akan jalan-jalan pagi menuju pasar dekat rumah. Mewanti-wanti jangan begitu akrab dengan orang tertentu yang memiliki kebiasaan kurang baik (suka mabok, konsumsi obat) yang secara lingkungan tempat tinggal saya dapat dikatan juga banyak. Atau ketika sudah mulai tumbuh dewasa, saat pada umumnya anak laki-laki suka modifikasi motor, maka orang tua saya dengan sigapnya sudah membentengi dengan hal-hal yang mendeskripsikan kalau kegiatan tersebut kurang bermanfaat dan cenderung menghabiskan uang. Berangkat dari hal-hal sederhana tersebut ternyata berdampak pada cara bergaul saya dengan orang lain. Menjadikan saya cenderung pasif bersosialisasi dengan orang lain yang belum begitu akrab, dan cenderung kurang bisa mengekspresikan apa yang sebenarnya saya pikirkan dan rasakan. 

Masalah sifat pasif dan terlalu dingin dalam hal ekpsresi ini sebenarnya sudah saya sadari sejak masa SMP, sering mempertanyakan pada diri sendiri kenapa tidak bisa sebebas dalam pikiran saat ingin berekspresi. Terlalu banyak pertimbangan takut melawan norma sosial, tidak dibenarkan oleh sekitar dan lain-lain saat ingin melakukan sesuatu. Maka tidak berlebih menurut saya pribadi bahwa alam pikirian merupakan tempat teraman untuk berekpresi sesuka imajinasi kita tanpa takut akan pelarangan dan penilaian dari orang lain. Mungkin ini karena kebiasaan sering di doktrin hal negatif atau sudah di ingatkan jangan melakukan ini dan itu bahkan sebelum saya melakukan sesuatu yang saya inginkan sejak masa kecil. Meskipun sudah menyadari hal tersebut dan sudah sering mencoba berubah, terlebih saat pergantian fase kehidupan semisal dari SD ke SMP, SMP ke SMA, SMA ke Kuliah dan seterusnya dengan harapan di tempat baru belum banyak yang kenal dengan saya, maka bisa berinteraksi dengan bebas tanpa mengkhawatirkan banyak hal ternyata juga tidak semudah yang dibayangkan. Bahkan sampai sekarang pun masih banyak orang yang menegur kenapa begitu cuek terhadap orang lain atau terlalu datar ekpsresinya. Kayaknya memang masih perlu usaha yang lebih keras lagi agar segera berdamai dengan luka atas pembatasan-pemabatasan masa lalu yang menurut saya pribadi sangat berdampak pada cara bersikap saya.

Meskipun demikian, bukan berarti saya menyalahkan sepenuhnya cara pola asuh orang tua saya. Karena masih banyak juga dampak positif yang saya rasakan dari hasil pola asuh yang mereka lakukan. Karena setiap tindakan itu tidak ada yang benar-benar putih dan tidak ada juga yang benar-benar hitam. Maka dari itu terkait karakter pola asuh orang tua yang pada akhirnya berdampak pada kepribadian anak ini menurut saya pribadi merupakan hal unik. Karena meskipun kita mencoba mengcopy cara orang lain yang menurut kita sudah ideal untuk kemudian kita terapkan kayaknya hasilnya belum tentu sama. Saya menggunakan kata kayaknya ya karena saya belum pernah mengalami langsung, he. Meskipun demikian, kita harus sepakat bahwa masa anak-anak itu sangat krusial untuk perkembangan kognitif maupun kepribadian anak. Baik buruk yang kita ajarkan dan contohkan akan menjadi pondasi perkembangan anak. Jika secara pondasi sudah kuat, maka berkembanganya pun akan baik.

Kita semua tentu familiar dengan ungkapan bahwa anak kecil itu ibarat kertas yang masih kosong, yang kemudian bisa kita corat coret seenaknya saja? saya rasa tentu tidak demikian. Memang benar bahwa secara garis besar pola asuh yang kita berikan akan menjadi coretan di atas kertas yang masih kosong tersebut. Namun pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah apakah coretan tersebut berwarna (berdampak positif) atau justru coretan monoton warna hitam (berdampak negatif). Terkait dua dampak ini yang menjadi PR kita untuk terlebih dahulu merenungkan kembali setiap akan berinteraksi terhadap anak. Jangan sampai tanpa sadar yang kita lakukan adalah menjadikan anak sebagai tempat pelampiasan atas hal-hal yang tidak pernah bisa kita capai semasa hidup dahulu. Misalnya kita dulu ingin menjadi Polisi tetapi tidak kesampaian, lantas sejak kecil menanamkan ke anak bahwa profesi yang menjanjikan itu ketika menjadi polisi. Padahal si anak belum tentu ingin menjadi polisi, jangan-jangan dia memiliki keinginan menjadi pemain bola dan sebagainya. Mengenalkan profesi tertentu memang penting dan tidak ada salahnya, yang menjadi kurang bijak yaitu ketika memaksakan keinginan agar sianak mengikuti keinginan orang tuanya. Karena memaksakan sesuatu terhadap anak tanpa mempertimbangkan keinginan dan kemampuannya itu seperti se-ekor ikan yang dipaksa harus juara lomba panjat pohon, ya gak realistis jadinya. Maka selaku orang tua sudah selayaknya kita memposisikan diri yang seimbang dengan anak, saling menerima masukan satu sama lain, saling berlajar memahasi satu sama lain dan hal-hal sederhana lainnya. Jangan sampai terbentuk hirarki keluarga yang begitu kaku yang memposisikan anak harus selalu mengikuti kehendak orang tua dan pendapat orang tua selalu benar. Jika kondisi tersebut yang terbentuk, bukan tidak mungkin hanya akan memupuk rasa kecewa anak terhadap orang tuanya.


Related Posts:

0 Response to "Inner Child : Dampaknya Pada Perkembangan Kepribadian"

Post a Comment