BUM Desa: Sarana Pemberdayaan Masyarakat dan Tantangan-Tantangan yang Menyertai

BUM Desa: Sarana Pemberdayaan Masyarakat dan Tantangan-Tantangan yang Menyertai

BUM Desa, akhir-akhir ini BUM Desa menjadi idola baru lingkungan Pemerintah Desa di seluruh Indonesia. Karena sesuai amanat UU Desa no 6 Tahun 2014, setiap desa memiliki kewenangan untuk mengelola wilayahnya sendiri dalam rangka mensejahterakan masyarakatnya. Dan salah satu media yang dapat digunakan adalah melalui BUM Desa sebagai sarana pemberdayaan masyarakatnya.

Terkait BUM Desa ini sebenarnya sudah clear secara konstitusi atau peraturannya. Karena sudah banyak yang menjelaskan, mulai dari UU Desa no 6 tahun 2014, Permendesa PDTT no 4 tahun 2015 tentang BUM Desa, kemudian saat ini setiap daerah (Kabupaten dan Kota) juga sudah memiliki Perda yang menaungi BUM Desa. Bahkan Kementrian Desa PDTT pernah menerbitkan semacam buku panduan yang menjelaskan secara jelas bagaimana eksistensi desa, dan BUM Desa didalamnya, termasuk juga tata cara pembentukannya. Sekarang yang masih menjadi pertanyaan adalah bagaimana pelaksanaan di tingkat desa itu sendiri. Apaakah sudah berjalan dengan baik atau tidak.

Kali ini saya akan membahas tentang BUM Desa berdasarkan pengalaman saya waktu sekripsi. Kebetulan dulu saya mengangkat BUM Desa sebagai objek penelitian saya. Sedangkan pembahasan saya fokus pada Analisis Alternatif Kebijakan Pemerintah Desa dalam Meningkatkan Kapasitas BUM Desa dengan studi kasus salah satu desa di Kab.Blitar. Saya mengangkat tema tersebut tidak terlepas dari banyaknya desa di Kab. Blitar yang sudah mendirikan BUM Desa, tapi kemudian banyak yang tidak berjalan atau mati suri.

Dari hasil Observasi saya selama penelitian itu, saya menemukan kemiripan informasi dari beberapa narasumber bahwa BUM Desa di Kabupaten Blitar berdirinya karna ada Perbup No 8 tahun 2011 tentang Pedoman Umum Tata Cara Pendirian Dan Pembentukan Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa). Setelah adanya Perbup tersebut mengharuskan setiap desa memiliki BUM Desa (sekitar tahun 2011). Dari intruksi itu, maka pemerintah desa  berbondong-bondong untuk mendirikan BUM Desa. Namun yang menjadi ironi adalah proses pendirian yang lebih ke arah formalitas. Formalitas tercemin dari proses pendirian yang semua pengurusnya sudah di tunjuk langsung oleh Kepala Desa, dan musyawarah desa hanya sebagai ajang legitimasi pembentukan dan pengangkatan pengurus saja. Sedangkan musyawwarah terkait unit usaha yang akan dijalankan yang sesuai dengan kondisi desanya sering terlewatkan.

Alur tersebut tentu kurang bisa di benarkan, mengingat BUM Desa berada di wilayah desa. Sehingga semua prosesnya harus melibatkan masyarakat desa selaku subjek dan objek dari BUM Desa. Masyarakat sebagai subjek karena yang menjalankan BUM Desa adalah masyarakat sendiri. Sedangkan masyarakat sebagai Objek adalah karena sebisa mungkin unit usaha BUM Desa bermanfaat untuk masyarakat. Maka dari itu masyarakat harus dilibatkan secara aktif dalam proses pendirian BUM Desa agar keberadaannya benar-benar membawa dampak untuk masyarkat atau sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Namun melibatkan masyarakat di setiap proses BUM Desa memang bukan perkara yang mudah. Terlebih ketika tingkat kesadaran masyarakat masih rendah. Kayaknya saya lebih suka memakai istilah tingkat kesadaran yang masih rendah dari pada SDM yang masih rendah. Karena ketika SDM sudah tinggi pun juga tidak berdampak saat kesadaran terhadap desa masih kurang. Kurangnya kesadaran masyarakat untuk turut aktif dalam pembangunan desa pun juga banyak faktornya.

Stimulus awal BUM Desa yang lebih ke formalitas tersebut pada akhirnya secara data memang banyak desa yang sudah memiliki BUM Desa secara organisasi tetapi pada realitanya masih sedikit BUM Desa yang benar-benar meiliki unit usaha yang real dan mampu berjalan. Berdasarkan observasi saya di Dua Desa di Kabupaten Blitar yaitu Ds. Kemloko Kec. Nglegok dan Ds. Kawedusan Kec. Ponggok, pada awal berdirinya kedua BUM Desa tersebut hanya memiliki kegiatan usaha Simpan Pinjam. Usaha simpan pinnjam memang terkesan usaha yang paling simpel dilakukan dan jelas untungnya karena setiap pinjaman pasti akan dikenakan bunga pinjaman yang akhirnya bunga tersebut akan terhitung sebagai pendapatan usaha. Namun masalah muncul ketika para peminjam tersebut adalah para perangkat desa sendiri. Karena dari pengalaman dua Desa Tersebut ketika peminjam adalah para perangkat, justru rata-rata pinjamannya macet dan akhirnya modal usaha tidak bisa berputar.

BUM Desa yang masih terkesan mati suri tersebut kemudian mendapat angin segar dari Presiden Jokowi melalui agenda "Nawa Cita" 9 Agenda Prioritas Jokowi-JK. Salah satu point dari 9 agenda tersebut adalah "Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan" sumber: https://nasional.kompas.com/read/2014/05/21/0754454/.Nawa.Cita.9.Agenda.Prioritas.Jokowi-JK . Wujud  pembangunan dari pinggiran tersebut di wujudkan dengan memberikan otoritas kepada pemerintah desa untuk mengelola desanya secara mandiri yaitu melalui UU Desa no 6 Tahun 2014 yang didalamnya juga menerangkan dengan jelas bahwa Desa dapat mendirikan Badan Usaha Milik Desa yang kemudian disingkat BUM Desa. Semangat baru terkait BUM Desa yang di usung dari UU Desa tersebut yang kemudian juga diperkuat melalui Permendesa No 4 tahun 2015 tentang Pendirian, Pengurusan, dan Pengelolaan, dan Pembubaran Badan Usaha Milik Desa adalah semangan gotong royong dan kekeluargaan untuk meningkatkan ekonomi desa. Dan dalam proses pembangunannya menitikberatkan inisiatif pemerintah desa dan masyarakat desa dalam memaksimalkan potensi usaha ekonomi desa serta sumberdaya alam yang ada.

Semenjak adanya prioritas pembangunan desa dan setiap desa ada pendamping desa yang bertugas membantu pemerintah desa dalam perencaan pembangunan desa pasca desa mendapat Dana Desa yang cukup besar yaitu kurang lebih 1 Milyar setiap tahunnya. Maka reorganisasi terhadap BUM Desa yang mati suri mendapat perhatian lebih. Pemerintah Desa dan pendamping desa berupaya membangun kembali BUM Desa yang sudah ada secara strukturalnya agar bisa beroprasional kembali dengan baik. Desa Karangsono Kecamatan Kanigoro Blitar termasuk yang berhasil melakukan reorganisasi BUM Desanya yang bernama BUM Besa Lestari. Di awal pembentukannya BUM Desa Lestari juga termasuk BUM Desa yang kepincut dengan usaha simpan pinnjam yang akhirnya mengalami kemacetan. Sehingga akhirnya pada tahun 2015 Pemerintah Desa dan Masyarakat Desa sepakat untuk kembali mengaktifkan BUM Desa Lestari dengan unit-unit usaha yang baru. Unit usaha yang dijalankan oleh BUM Desa Lestari diantaranya yaitu persewaan gedung serbaguna milik desa untuk kegiatan-kegiatan masyarakat, pembuatan sirup buah seperti jambu, blimbing dan markisa, selain itu juga membuka wisata edukasi Agrowisata. Unit-unit usaha tersebut dipilih tidak terlepas dari potensi desa yang ada yang mana banyak masyarakat Desa Karangsono yang memiliki pohon jambu merah, blimbing dan juga markisa di sekitar halaman rumahnya. Bahkan BUM Desa Lestari sudah bisa mengemas hasil olahan Sirup Buahnya dan layak di pasarkan di toko modern. Sedangkan secara potensi agrowisata pengelola BUM Desa menawarkan paket edukasi terkait tata cara merawat pohon jambu, blimbing dan juga markisa secara langsung dengan target market murid-murid di tingkat taman kanak-kanak maupun di tingkat sekolah PAUD (Pedidikan Anak Usia Dini). Saat saya observasi langsung kesalah satu kebun masyarakat pemilik lahan jambu kebetulan berbarengan dengan rombongan siswa TK melakukan kunjungan agrowisata di BUM Desa Lestari. Para siswa terlihat antusias mengikuti penjelasan mentor terkait cara mencangkong pohon jambu, cara merawat dan di akhiri dengan membuat Jus Jambu langsung dari hasil kebun. BUM Desa Lestari milik Desa Karangsono bahkan berhasil memperoleh predikat BUM Desa terbaik se Jawa Timur Pada Tahun 2017.

Kalau melihat perubahan signifikan BUM Desa Karangsono dari yang awalnya sempat mati suri sampai akhrinya berjalan dengan baik bahkan bisa menjadi BUM Desa terbaik dapat di tarik garis merah yang jelas faktor penyebabnya. BUM Desa Lestari tidak bisa berkembang dengan baik karena pemerintah desa dan masyarakat desa gagal menggali potensi yang ada di desanya dan semangat gotong royong pembangunan ekonomi desa masih belum muncul saat awal pendirian BUM Desa. Sedangkan ketika Pemdes dan masyarakat Desa sudah bisa memahami apa potensi desanya dan apa sebenarnya yang dibutuhkan oleh masyarakatnya untuk menstimulus perkembangan ekonomi desanya maka bukan hal mustahil menemukan jenis usaha yang sesuai dan bisa menjadi problem solver masalah di desa tersebut.

Dan sekarang ini yang menjadi PR besar bagi kita selaku masyarakat desa adalah bagaimana mendorong agar BUM Desa yang sudah dimiliki oleh desa kita bisa berjalan dengan baik. Mulai dari melakukan musyawarah desa terkait mau dibawa kemana BUM Desa kedepannya dalam meningkatkan ekonomi desa yang salah satu tujuannya juga menjadi salah satu sumber pendapatan desa. Hal ini tidak terlepas dari agenda membangun Indonesia dari pinggiran dengan menjadikan setiap desa berdaya secara mandiri.


Related Posts:

0 Response to "BUM Desa: Sarana Pemberdayaan Masyarakat dan Tantangan-Tantangan yang Menyertai"

Post a Comment