Contoh Makalah Resolusi Konflik, "KONFLIK ETNIS ANTARA KETURUNAN TIONGHOA DAN PRIBUMI"


Contoh Makalah Resolusi Konflik "KONFLIK ETNIS ANTARA KETURUNAN  TIONGHOA DAN PRIBUMI"

Sumber Gambar: https://alihamdan.id/konflik-sosial/

PENDAHULUAN

11.      Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu Negara paling kaya di dunia. Kekayaan Indonesia mencakup segala aspek yang ada, mulai dari sumber daya alam (SDA), sumber daya manusia (SDM), keberagaman sukunya, ras, kebudayaan, bahasa daerah, dan lain sebagainya. Keberagaman Indonesia inilah yang membuatnya menjadi Negara yang plural atau heterogen. Kondisi ini yang membuat Negara Indonesia berbeda dengan Negara lain di dunia, karena meskipun heterogenitas kebuadayaan tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi di Negara lain kondisinya tidak sekomplek yang ada di Indonesia itu sendiri.

Sampai saat ini kebudayaan-kebuadayan peninggalan nenek moyang terdahulu tetap dijaga dan dilestarikan secara turun-temurun oleh masyarakat, dan dijadikan kearifan lokal daerah tersebut. Semua keragaman yang ada di Indonesia tercipta dari kehidupan sehari-hari yang dijalani oleh masyarakat, sehingga muncul berbagai variasi baru dalam bentuk-bentuk budaya, baik hasil dari penciptaan budaya baru maupun mengadopsi dari perilaku keseharian masyarakat.
Keanekaragaman yang ada di Indonesia membawa dua konsekuensi tersendiri bagi kehidupan masyarakatnya, baik dari sudut pandang positif maupun negatif. Dari sisi positifnya, keanekaragaman ini bisa menjadi identitas tersendiri bagi Indonesia, mengingat tidak semua Negara memiliki kebudayaan sekomplek Indonesia. Sedangkan sisi negatifnya rawan terjadinya konflik di antara masyarakat. Konflik ini tidak hanya terjadi di daerah pedesaan saja yang pada dasarnya masih menjunjung tinggi nilai-nilai luhur nenek moyangnya, bahkan juga di daerah perkotaan yang pola pikir masyarakatnya sudah lebih maju. Tidak jarang konflik yang terjadi berujung pada kekerasan yang membabi buta, mulai dari pemerkosaan, penjarahan, pengrusakan fasilitas umum, dan bahkan tempat ibadah juga menjadi sasaran amuk masa.
Tentu kurang baik jika kondisi ini dibiarkan sampai berlarut-larut tanpa penyelesaian yang sifatnya permanen di lingkungan masyarakat. Karena bisa mencoreng nama baik Indonesia yang terkenal akan toleransinya terhadap perbedaan dan sebagai Negara dengan penduduk yang ramah-ramah. Terlebih ketika konflik tersebut berujung pada pertumpahan darah, itu pasti akan menjadi berita yang sangat menyita perhatian media masa, dan beritanya tentu akan cepat tersebar keseluruh dunia mengingat keterbukaan informasi yang terjadi saat ini. Selain itu juga bisa mengancam keamanan Negara Indonesia sendiri.
Salah satu konflik panjang yang pernah terjadi di Indonesia adalah konflik etnis antara keturunan tionghoa dengan masyarakat pribumi yang terjadi di sekitaran tahun 1998. Konflik ini terjadi secara turun-temurun yang di sebabkan oleh ketimpangan sosial yang terjadi di dalam struktur masyarakat. Warga pribumi merasa di kucilkan dengan status kasta yang lebih rendah dari keturunan tionghoa sesuai dengan aturan yang di berikan oleh Negara penjajah. Kondisi inilah yang memicu konflik berkepanjangan antar dua etnis yang tanpa ada tindakan tepat untuk mengatasinya. Konflik yang sampai berujung pada tindakan kekerasan seperti penjarahan, pembakaran, pemerkosaan, dan pembunuhan serta sikap rasis satu sama lain. Selain faktor ketimpangan sosial, ada perkirakan faktor politik juga bermain di belakangnya untuk kepentingan golongan tertentu.


22.      Rumusan Masalah
1.      Bagaimana sejarah keturunan Tionghoa di Indonesia ?
2.      Apa yang menyebabkan terjadinya konflik etnis antara keturunan tionghoa dengan warga pribumi jawa?
3.      Apakah dampak dari konflik yang terjadi terhadap masyarakat sebagai warga Negara?
4.      Bagaimana cara agar konflik serupa tidak terulang di masa yang akan datang?
  

PEMBAHASAN

11.      Sejarah Keturunan Tionghoa di Indonesia
Orang Tionghoa sudah datang ke Indonesia sebelum orang Belanda. Sebelum kedatangan Belanda, orang Tionghoa hidup dengan damai. Mata pencaharian mereka dengan berdagang, bertani, dan menjadi tukang. Hampir seluruh orang Tionghoa tidak membawa istrinya saat hijrah ke Indonesia. Memang pada saat itu, orang Tionghoa dilarang membawa istrinya karena seorang perempuan dilarang keluar dari Tiongkok.
Hingga akhirnya, mereka pun menikahi sejumlah perempuan Indonesia yang akhirnya membuahkan benih seorang peranakan Indonesia-Tionghoa. Perkawinan dua bangsa ini diadakan secara meriah dan mahal dengan adat istiadat dan kebiasaan bangsa Tionghoa. Orang Tionghoa ini tetap bermukim di perantauan sampai beberapa keturunan tanpa pernah kembali ke negeri asal mereka. Mereka pun membaur dengan bahasa, makanan, pakaian, dan agama di Indonesia. Mereka memeluk agama Islam dan menolak makan babi dan menjalankan adat istiadat penduduk asli. Kurang lebih 5.000 orang Tionghoa datang ke Batavia. Tahun 1683, jumlah orang Tionghoa berkembang pesat di Pulau Jawa. Jumlah penduduk Tionghoa lantas melebihi 100.000 orang pada permulaan abad ke-19. Mereka hidup menyebar ke seluruh Pulau Jawa, ke daerah pedalaman dan di sepanjang pesisir utara. 
Selama tinggal di tanah Indonesia, orang Tionghoa dikenal rajin dan pintar mencari uang apalagi di bidang perdagangan. Tanpa adanya orang Tionghoa, Pulau Jawa bukan merupakan koloni yang menguntungkan. Hal itu disebut dalam buku berjudul 'Tionghoa dalam Pusaran Politik' terbitan TransMedia tahun 2008. Semua industri, penyulingan alkohol dan pembuatan alat rumah tangga semua karena tangan orang Tionghoa. 
Orang Tionghoa yang sudah lama tinggal di Indonesia juga sangat dekat dengan raja-raja dan kraton Jawa. Banyak juga yang diberi gelar bangsawan oleh raja Jawa dan dinikahkan dengan putri kraton. Atau sebaliknya, banyak juga putri dari orang Tionghoa yang dijadikan selir oleh raja-raja Jawa. Di antaranya Putri Cina yang dijadikan istri Sunan Gunung Jati dari Cirebon. Perkawinan silang budaya, etnis, negara ini pun membuahkan keturunan

22.      Penyebab Terjadinya Konflik antara Keturunan Tionghoa dan
Pribumi Jawa
Perbedaan kelas merupakan salah satu penyebab timbulnya konflik antara keturunan tionghoa dan pribumi jawa. Pengklasifikasian kelas ini telah terjadi sejak zaman penjajahan, dan hal ini sengaja dibuat supaya para bangsa eropa lebih mudah melakukan penjajahan di atas tanah warga pribumi mengingat posisinya sebagai yang terendah. Dimana di dunia ini ada tiga tingkatan status sosial yang ada dengan menempatkan orang eropa berada di tingkat paling atas atau sebagai penguasa, kemudian keturunan tionghoa berada di tingkat tengah, dan warga pribumi sebagai kalangang terbawah.
Penempatan keturunan Tionghoa pada posisi tengah yang lebih baik dari orang pribumi mengakibatkan orang Tionghoa mendapat hak-hak lebih dari pada orang pribumi. Orang Tionghoa bisa dengan mudah masuk dalam dunia politik dan bisa mendapat akses khusus di bidang ekonomi. Kemudahan dua akses tersebut membuatnya lebih unggul dari pribumi. Sehingga yang menjadi para penguasa atau bos adalah para Tionghoa sedangkan pribumi hanya menjadi buruhan. Hal tersebut bisa dilihat dari banyaknya toko-toko atau perusahaan yang pemiliknya bukan lain adalah para keturunan china.
Selain itu akar penyebab yang sampai saat ini masih ada adalah sifat masyarakat etnis China yang masih menutup diri dan belum bisa berbaur dengan yang lain. Masyarakat pribumi yang menjadi mayoritas tetapi tidak memberikan pandangan yang sama dengan etnis lain dan China khususnya sehingga masyarakat tersebut saling mendikotomikan satu sama lainnya. Kepemihakan pemerintah atau para aparatur Negara yang tidak seimbang dengan kepemihakan kepada pemilik modal dan pengusaha yang mayoritas adalah etnis Tionghoa. Kesenjangan ekonomi antara etnis Tionghoa dan pribumi yang sampai saat ini masih sedikit jembatannya agar kesenjangan ekonomi tersebut tidak semakin jauh. Masih sedikitnya komunikasi yang terjadi antar keduanya dalam posisi yang sejajar, karena selama ini hubungan komunikasi mereka hanya di dasarkan pada hubungan antara majikan dengan pembantu, penjual dan pembeli. Sikap pemerintah yang kurang peduli terhadap proses asimilasi dan akulturasi keberagaman budaya yang ada di Indonesia. Serta persepsi yang berbeda satu sama lain karena perbedaan budaya dan minimnya dialog didalamnya.

33.      Dampak Konflik Etnis Tionghoa dan Pribumi
Ketika tidak ada integrasi sosial di dalam masyarakat dengan ditandainya banyak konflik yang terjadi pasti membawa dampat tersendiri bagi masyarakat. Termasuk dampak yang terjadi akibat konflik etnis Tionghoa dan pribumi ini, terlebih ketika konflik mengarah pada tindak kekerasan. Mulai dari penjarahan rumah dan tempat-tempat usahanya keturunan Tionghoa, pemerkosaan terjadi dimana-mana, pembunuhan, pengrusakan sampai membakar rumah-rumah, pertokoan, dan juga kendaraan umum. Hampir semua korban dari tindak kekerasan ini adalah keturunan Tionghoa yang sangat minoritas didalam masyarakat.
Selain itu munculnya sikap saling curiga satu sama lain yang sampai turun-temurun. Konflik laten ini sangat berbahaya kedepannya jika di biarkan terus-menerus. Karena hal ini ibarat sekam padi kering yang sewaktu-waktu bisa dengan mudah terbakar oleh percikan api kecil. Dan bukan tidak mungkin akan menimbulkan konflik yang lebih besar lagi. Bahkan konflik sosial seperti ini yang merupakan salah satu dari konflik SARA dapat mengancam keutuhan NKRI.

44.      Cara Menyelesaikan Konflik Etnis Tionghoa dan Pribumi
Penyelesaian konflik antar etnis seharusnya tidak hanya sekedar melihat untuk jangka pendek saja. Menurut Prasojdo, upaya penyelesaian konflik sesaat seperti pengungsian warga tidak akan menyelesaikan persoalan, dan justru akan memberikan motif kepada etnis lain untuk melakukan penyerobotan tanah demi keuntungan-keuntungan materiil lainnya akibat konflik seperti itu. (Kompas 2 Maret 2001)
Penyelesaian konflik juga tidak bisa jika dilakukan secara paksa dengan berbagai peraturan yang dibuat oleh pemerintah. Seperti yang dilakukan pada zaman orde baru mengenai masalah anti China pada tahun 1967. Pada saat itu pemerintah mengeluarkan kebijakan meliputi larangan sekolah-sekolah dan penerbitan-penerbitan yang menggunakan bahasa China. Selain itu juga telah diatur dalam kebijakan asimilasi yang pembatasan aktivitas ritual keagamaan tradisional kelompok etnis keturunan China pada lingkup keluarga dan mendorong penggantian nama China menjadi nama Indonesia. Juga mengenai anjuran melakukan kawin campur atau masuk islam.
 Jika hanya dilakukan dengan adanya peraturan yang mengikat, keadaan ini justru berbahaya untuk kedepannya. Mengingat damainya mereka karena faktor eksternal, bukan berdasarkan kesadaran bersama yang pada dasarnya di dalam hati mereka tetap memendam kecurigaan satu sama lain yang menjadi bahaya laten. Dan justru bisa memicu konflik-konflik selanjutnya yang lebih besar.
Berbeda dengan cara penyelesaian konflik menurut teori struktural fungsional. Berdasarkan teori struktural fungsional, walaupun integrasi sosial tidak pernah dapat dicapai secara sempurna, tetapi secara mendasar system sosial selalu cenderung berposes kearah keseimbangan (equilibrium) yang dinamis. Sehingga perubahan-perubahan yang sumbernya datang dari luar dianggap oleh keseimbangan itu dengan memelihara sedapat mungkin agar perubahan terjadi pada taraf yang minimum. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap struktur dalam system sosial, fungsional terhadap yang lain. Sebaliknya, jika tidak fungsional maka struktur itu tidak aka nada atau hilang dengan sendirinya dan di gantikan dengan system yang lebih sesuai dengan kondisi yang ada.
Menyikapi pengertian struktural fungsional, kita dapat memahami kondisi keberagaman budaya di Indonesia dengan lebih arif. Budaya Indonesia merupakan himpunan dari etnis-etnis yang tersebar keseluruh wilayah Indonesia dengan ciri khas masing-masing dari daerahnya. Jika budaya Indonesia yang telah disepakati adalah yang berasal dari himpunan budaya, maka seharusnya Indonesia juga bisa mengakui budaya keturunan China (Tionghoa) sebagai bagian dari budayanya. Dan proses asimilasi seharusnya dibiarkan terjadi secara alami tanpa adanya campur tangan kebijakan dari pemerintah yang nantinya cenderung menimbulkan perlakuan diskriminatif.

Related Posts:

0 Response to "Contoh Makalah Resolusi Konflik, "KONFLIK ETNIS ANTARA KETURUNAN TIONGHOA DAN PRIBUMI""

Post a Comment