BAB
1.PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kebudayaan merupakan hasil karya,cipta
dan karsa manusia yang menjadi suatu inspirasi dan tuangan hasil olah pikir
dari suatu individu maupun masyarakat.[1] Indonesia
merupakan salah satu Negara mempunyai beragam jenis kebudayaan. Hampir setiap
daerahnya mempunyai kebudayaan yang unik dan menarik yang menjadi identitas
tersendiri dari daerah tersebut dan tentunya selalu berbeda antara daerah satu
dengan daerah yang lain. Kebudayaan yang telah ada di suatu daerah harus tetap
di jaga dan di lestarikan supaya tidak punah karena kebudayaan merupakan
kekayaan peninggalan nenek moyang terdahulu yang sangat bernilai. Kebudayaan selain memberikan ciri
khas dari suatu daerah juga menjadi lambang dari kepribadian suatu bangsa atau
daerah. Kebudayaan terdiri dari suatu aktivitas, hasil karya, dan ide.[2] Namun
pada saat ini banyak kalangan generasi muda kita yang kurang memperhatikan
kebudayaannya sendiri, mereka justru lebih mengutamakan kebudayaan dari negara lain.
Keadaan ini jelas sangat
mengkhawatirkan, karena siapa lagi yang akan menjaga dan melestarikan
kebudayaan daerah jika bukan generasi-generasi mudanya.
Maka dari itu
perlu adanya
pendekatan dari setiap
individu itu sendiri agar generasi
muda kita lebih mencintai kebudayaan dalam negeri. Sehingga kebudayaan daerah akan terus terjaga dan
tidak tergantikan dengan budaya luar yang tidak jarang justru berlainan dengan
nilai-nilai kearifan lokal yang sudah ada sebelumnya.
Di Nganjuk sendiri terdapat kebudayaan yang
sangat menarik untuk dipelajari dan dimengerti. Tradisi kebudayaan tersebut adalah siraman air terjun
sedudo yang digelar setiap tanggal satu suro. Oleh
karena,itu kelompok kami mengambil judul “ Tradisi Siraman Air Terjun Sedudo
Satu Syura” untuk di jadikan makalah karena selain unik dan menarik tentunya
untuk memberikan informasi menganai kebudayaan yang ada di kabupaten Nganjuk
yang belum diketahui masyarakat secara luas yang di dalamnya mengulas tentang
prosesi siraman yang dilaksanakan setiap satu syura.Tradisi ini dipercayai
dapat memberikan manfaat awet muda,berkah selamat apabila melaksanakan ritual
tersebut.Selain itu,tradisi ini untuk melestarikan kebudayaan nenek moyang yang
dilaksanakan secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Sehingga kelompok kami memberi
apresiasi terhadap plestarian kebudayaan yang ada di Nganjuk tersebut. Karena,menjaga dan melestarikan
kebudayaan merupakan kewajiban setiap individu , agar tetap terjaga dan tidak
punah .Sehingga kearifan budaya lokal tidak tergeser oleh kebudaayan luar
negeri yang semakin mendominasi kebudayaan lokal.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah
proses
siraman air terjun sedudo ?
2. Bagaimanakah
tradisi siraman air terjun sedudo dalam konteks ilmu antropologi?
1.3 Tujuan Makalah
1. Untuk
mengetahui tentang proses
siraman air terjun sedudo.
2. Untuk
dapat mempelajari tentang tradisi siraman air terjun sedudo dalam konteks ilmu
antropologi.
1.3 Manfaat
1.
Bagi
kelompok kami untuk lebih mengetahui lebih dalam akan budaya nganjuk tersebut dari
segala aspek menurut kajian antropologi.
2.
Bagi
pembaca, sebagai bahan refrensi tentang aneka budaya di Indonesia ini terutama
dalam makalah ini yang membahas budaya nganjuk “siraman serdudo”
BAB 2.TINJAUAN
PUSTAKA
2.1 Tradisi
Secara
etimologi tradisi berasal dari bahasa Latin “Traditio” yang
artinya diteruskan atau dibiasakan,
dalam pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang telah dilakukan
untuk sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat ,
biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu atau agama yang sama. Hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi
yang diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun (sering kali)
lisan, karena tanpa adanya ini, suatu tradisi dapat punah.
Sebenarnya
banyak sekali pengertian dari tradisi. Namun, pengertian tradisi menurut para
ahli secara garis besar adalah suatu budaya dan adat istiadat yang diwariskan
dari satu generasi ke generasi dan diimplementasikan dalam kehidupan
sehari-hari. Nenek moyang kita tentu menginginkan para generasi penerus tetap
menjaga kelestarian peninggalan mereka. Peninggalan tersebut dapat berupa
materil dan non materil. Peninggalan materil contohnya adalah lukisan, patung,
dan arca. Sementara itu, peninggalan non materil berupa bahasa atau dialek, upacara
adat, dan norma.[4]
Tradisi yang
dimiliki masyarakat bertujuan agar membuat hidup manusia kaya akan budaya dan
nilai-nilai bersejarah. Selain itu, tradisi juga akan menciptakan kehidupan
yang harmonis. Karena di setiap tradisi yang ada pasti mengandung nilai-nilai kehidupan
yang patut untuk menjadi pelajaran. Namun, hal tersebut akan terwujud hanya apabila manusia menghargai,
menghormarti, dan menjalankan suatu tradisi secara baik dan benar serta sesuai
aturan.
2.2 Daerah Nganjuk
Kabupaten Nganjuk adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa timur.
Kabupaten Nganjuk terletak antara 11105' sampai dengan 112013' BT dan 7020'
sampai dengan 7059' LS. Luas Kabupaten Nganjuk adalah sekitar ± 122.433 Km2 atau 122.433 Ha
Nganjuk dahulunya bernama Anjuk
Ladang yang dalam bahasa jawa kuno berarti Tanah Kemenangan. Dibangun pada tahun 859 Caka atau 937 Masehi.
Berdasarkan peta jawa tengah dan jawa timur pada permulaan tahun 1811 yang terdapat dalam buku tulisan Peter Carey
yang berjudul : ”(Orang Jawa dan masyarakat Cina (1755-1825)”, penerbit
Pustaka Azet, Jakarta, 1986; diperoleh gambaran yang agak jelas tentang daerah Nganjuk.
Apabila dicermati peta tersebut ternyata daerah Nganjuk
terbagi dalam 4 daerah yaitu Berbek,
Godean, Nganjuk
dan Kertosono merupakan daerah yang dikuasai Belanda
dan kasultanan Yogyakarta, sedangkan daerah Nganjuk
merupakan mancanegara kasunanan Surakarta. Sejak adanya Perjanjian Sepreh 1830,
atau tepatnya tanggal 4 juli 1830, maka semua kabupaten di Nganjuk
(Berbek,
Kertosono dan Nganjuk
) tunduk dibawah kekuasaan dan pengawasan Nederlandsch Gouverment. Alur sejarah
Kabupaten Nganjuk adalah berangkat dari keberadaan kabupaten
Berbek dibawah kepemimpinan Raden
Toemenggoeng Sosrokoesoemo 1. Dimana tahun 1880 adalah tahun suatu
kejadian yang diperingati yaitu mulainya kedudukan ibukota Kabupaten
Berbek pindah ke Kabupaten
Nganjuk.Dalam Statsblad van
Nederlansch Indie No.107, dikeluarkan tanggal 4 Juni 1885, memuat SK Gubernur
Jendral dari Nederlandsch Indie tanggal 30 Mei 1885 No 4/C tentang batas-batas
Ibukota Toeloeng
Ahoeng, Trenggalek, Ngandjoek dan Kertosono, antara lain disebutkan: III tot hoafdplaats
Ngandjoek, afdeling Berbek, de navalgende Wijken en kampongs : de
Chineeshe Wijk de kampong Mangoendikaran de kampong Pajaman de kampong Kaoeman.
Dengan ditetapkannya Kota Nganjuk yang meliputi kampung dan desa tersebut di atas
menjadi ibukota Kabupaten Nganjuk, maka secara resmi pusat pemerintahan Kabupaten
Berbek berkedudukan di Nganjuk.
2.3 Air Terjun Sedudo
Air Terjun Sedudo berada di ketinggianan 1.438 meter di atas permukaan laut
(dpl) di sisi timur kawasan Gunung Wilis, dengan ketinggian air terjun sekitar
105 meter.
Air terjun Sedudo sudah terkenal sejak jaman Majapahit yang mana air terjun
ini diyakini sebagai Tirta Suci yang mengalir dari kahyangan. Bahkan Para
Raja, Bangsawan dan Pendeta pada jaman itu sering mempergunakan untuk upacara
ritual, yaitu memandikan arca atau senjata pusaka dalam upacara Parna
Prahista, yang kemudian sisa airnya dipercikan untuk keluarga agar mendapat
berkah keselamatan dan awet muda. Hingga sekarang pihak Pemkab Nganjuk secara
rutin melaksanakan acara ritual Mandi Sedudo setiap tanggal 1 Suro bulan Sura
(kalender Jawa). Konon mitos yang ada sejak zaman Majapahit pada bulan
itu dipercaya membawa berkah awet muda bagi orang yang mandi di air terjun
tersebut.
2.4 Tanggal 1 suro
Satu suro atau dalam
islam biasa disebut 1 Muharram adalah hari
tahun baru untuk tahun hijriyah, karena Kalender jawa yang diterbitkan Sultan Agung mengacu
penanggalan Hijriyah (Islam). Satu suro biasanya diperingati pada malam hari
setelah magrib pada hari sebelum tangal satu biasanya disebut malam satu suro,
hal ini karena pergantian hari Jawa dimulai pada saat matahari terbenam dari
hari sebelumnya, bukan pada tengah malam.Satu Suro memiliki banyak pandangan
dalam masyarakat Jawa, hari ini dianggap kramat terlebih bila jatuh pada jumat
legi. Untuk sebagian masyarakat pada malam satu suro dilarang untuk ke
mana-mana kecuali untuk berdoa ataupun melakukan ibadah lain. Tradisi saat malam satu suro bermacam-macam tergantung dari
daerah mana memandang hal ini,seperti di daerah nganjuk pada tanggal 1 suro
digunakan sebagai ritual siraman di air terjun sedudo.
2.5
Sejarah Siraman sedudo
Pementasan tari
tradisional, larung sesaji , pengambilan trita amerta, dan mandi bersama.
Sebelum pertunjukan tari dimulai, seorang sesepuh berjalan menuju Air terjun
Sedudo, di belakangnya berderet lima sesepuh lain yang membawa sesaji, disusul
para putri domas, lima penari Bedhayan, dan paling belakang terdiri dari
sepuluh gadis perawan berambut panjang dan lima perjaka tampan. Setibanya di
kolam Air terjun Sedudo, tarian tradisional pun segera dipentaskan. Prosesi
dilanjutkan dengan ritual larung sesaji di kolam Air Terjun Sedudo oleh Bupati
Nganjuk. Setelah usai, para penari kembali mementaskan tarian. Di akhir
pertunjukan tari, Bupati Nganjuk menyerahkan klenthing kepada sepuluh
gadis berambut panjang sebagai pertanda prosesi ritual Amek Tirta dilaksanakan.
Ritual tersebut dilakukan dengan mengisi klenthing dengan kucuran air
Sedudo. Usai ritual selesai para pengunjung dan tamu undangan berebut masuk ke
kolam Air terjun Sedudo untuk mandi bersama. Para pengunjung yang berebut
untuk mandi percaya bahwa air dari Air terjun Sedudo memiliki berbagai khasiat
magis. Kepercayaan mengenai khasiat air Sedudo tidak lepas dari sejarah/mitos
terjadinya Sedudo. Ada beberapa pendapat mengenai mitos tersebut :
1. Terjadinya
Air Terjun Sedudo berkaitan dengan mitos Sanak Pogalan. Sanak Pogalan adalah
petani tebu yang harus menelan kecewa dari penguasa. Dia pun bertapa disekitar
sumber Air Terjun Sedudo lereng Gunung Wilis dan berupaya membuat sumber air
yang besar untuk menenggelamkan Nganjuk.
2.
Di era Kadari, seorang Rsi bernama Curigonoto bermaksud
menjadikan kawasan Sedudo sebagai hutan rempah. Kemudian ia pun memohon pada
penguasa Kadiri untuk mengirimkan benih rempah kepadanya. Permohonannya pun
dikabulkan, namun saat dikirimkan secara tiba-tiba bibit tersebut tumpah
disekitar sumber Air Terjun Sedudo. Kemudian tanaman rempah pun tumbuh subur di
sekitar sumber. Karena mitos-mitos itulah banyak pengunjung yang meyakini
khasiat dari Air Terjun Sedudo.
3.
Obyek wisata air terjun Sedudo, selain indah, juga
memiliki kisah yang panjang. Di zaman Majapahit, air terjun ini dikabarkan
sering digunakan untuk mencuci senjata milik raja dan patung dalam upacara
Prana Prasthista. Bahkan, Mahapatih Gajah Mada konon menggunakan lokasi air
terjun untuk menggembleng prajurit-prajuritnya. Sedangkan pada zaman kerajaan Islam,
Sedudo dikenal sebagai kawasan pertapaan Ki Ageng Ngaliman. penyebar agama
Islam di wilayah Nganjuk. Karena itu, dalam perkembangannya, setiap bulan Sura
selalu diadakan ritual mandi
Sedudo atau siraman Sedudo yang diawali prosesi tarian oleh enam penari
berambut panjang yang masih perawan alias dalam keadaan suci.
4
Dulu kawasan Sedudo merupakan tempat pertapaan Ki
Ageng Ngaliman, tokoh pelopor penyebaran agama Islam di Nganjuk waktu itu.
Sebagai penghormatan atas jasa-jasanya, maka setiap bulan Suro sebuah upacara
ritual selalu digelar. Ritual yang diberin nama pengambilan Air Sedudo itu
diisi dengan acara iring-iringan gadis berambut panjang yang berbusana adat
Jawa, berjalan perlahan menuju kolam yang berada tepat di bawah air
terjun.
5
Mereka percaya, air yang mengalir tak henti-hentinya
mengalir di Sedudo, bersumber dari tempat keramat, yakni tempat di mana para
dewa bersemayam. Tak heran, ketika malam tahun baru Hijriyah 1 Muharram, atau
biasa dikenal malam 1 Suro oleh masyarakat Jawa, ribuan pengunjung selalu
memadati Sedudo. Di tengah dinginnya air terjun Sedudo, mereka mandi
beramai-ramai di kolamnya.
BAB 3.PEMBAHASAN
3.1 Proses
Siraman Air
Terjun Sedudo
Keberadaan air terjun pada mulanya hanya sebagai proses alam biasa,
namun dalam perkembangannya tidak terlepas dari cerita misteri yang kemudian
mentradisi. Seperti halnya cerita yang mewarnai air terjun Sedudo yang kemudian
melatarbelakangi lahirnya ritual Tirta Amarta Sedudo.[5]
Cerita
ini berawal dari sebuah keluarga yang tinggal di desa Ngliman, Kecamatan
Sawahan, Kabupaten Nganjuk. Mereka adalah Begawan, istri nya Dewi Sri
serta adik ipar nya Barata. Mereka adalah keluarga yang disegani
masyarakat sekitar bahkan sebagai panutan dan sesepuh di desa tersebut. Mereka
sangat taat pada agama. Segudang ilmu agama telah ia kuasai sehingga bila ada
orang yang memerlukan mereka dengan senang membantunya. Dalam kehidupan sehari - hari mereka
sangat baik suka menolong rela berkorban demi kepentingan umum atau orang
lain.Tidak pernah berfikir tentang kepentingan pribadi. Mereka berpandangan
hidup adalah milik Alloh dan akan kembali kepada-Nya. Oleh karena itu banyak
orang yang datang untuk belajar agama minta nasehat maupun minta berkah do’a darinya. Namun suatu ketika situasi sedikit
berubah, entah setan dari mana yang telah merasuki salah satu darinya, Barata
sering melakukan hal hal tercela. Ia tidak suka lagi membantu orang yang sedang
susah bahkan menghinanya. Bahkan ia sering mengganggu ketentraman warga
sekitarnya. Pernah suatu ketika Begawan melihat Bengawan bercakap – cakap dengan seseorang. Ketika itu
bengawan sedang memarahi salah satu penduduk karena meminta makan namun
dimarahi karena malas. Dan barata pun mendengarnya. Akhirnya karena resah dengan kelakuan kakak iparnya dia pun
memanggil kakanya itu untuk berbincang hingga adu mulut. Akhirnya bengawan mengusir
barata untuk meninggalkan rumahnya. Dewi srih meihatnya akhirnya memutuskan
untuk menyusul adik satu-satunya tersebut. Walaupun bengawan sudah menahan dewi
sri itupun gagal. Begawan
merenungi semua kejadian ini. Dia tidak punya pilihan lain kecuali harus hidup
menyendiri sebagai seorang duda. Dia pun pergi untuk membersihkan diri mohon
petunjuk kepada Alloh dengan cara bertapa di bawah air terjun yang sangat
tinggi untuk selamanya. orang sekitar yang memerlukan bagawan sering
mengunjungi untuk minta nasehat atau petuahnya. Anehnya selama bertapa begawan
tidak pernah berubah ia selalu tampak muda terutama di awal tahun baru hijriah
Muharam atau bulan Suro. Semenjak itulah banyak orang yang berdatangan untuk
mensucikan diri dan mencari berkah di sana. Mereka percaya barang siapa yang
melakukan ritual di bawah air terjun tersebut akan mendapat berkah dan awet
muda terutama di awal tahun baru hijriah atau bulan Suro. Dan air terjun
tersebut di kenal dengan nama SEDUDO yang artinya seorang dudo. Sampai sekarang masyarakat masih percaya dengan mitos
tersebut. Banyak masyarakat yang datang ke air terjun sedudo untuk mandi
mensucikan diri agar mendapat berkah dan awet muda. Terutama di tahun baru Hijriah atau bulan Suro.
Untuk melestarikan budaya di air terjun sedudo Pemerintah daerah Kabupaten
Nganjuk mengadakan acara ”Siraman sedudo” setiap tahunnya. Tepatnya di awal
tahun baru Hijriah atau bulan Suro.
Secara umum rangkaian acara Siraman Sedudo terdiri :
1.
Pementasan tari tradisional
Prosesi
siraman diawali dengan tabur bunga di tengah-tengah objek wisata air terjun
sedudo sebelum
pertunjukan tari dimulai, seorang sesepuh berjalan menuju Air terjun Sedudo, di
belakangnya berderet lima sesepuh lain yang membawa sesaji, disusul para putri
domas, lima penari Bedhayan, dan paling belakang terdiri dari sepuluh gadis
perawan berambut panjang dan lima perjaka tampan. Setibanya di kolam Air terjun
Sedudo, tarian tradisional pun segera dipentaskan. kemasan tari Bedhayan Amek
Tirta semakin menambah kesakralan prosesi ini, tari itu sendiri merupakan
penggambaran rasa wujud syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Adapun makna dari tari bedhaya itu sendiri
adalah sebagai berikut.
Tari bedhaya merupakan salah satu
budaya yang lahir dari lingkungan keratin yang memiliki tata aturan dan
falsafah jawa yang tinggi. Dalam pola penyusunan tari bedhaya lebih menitik
beratkan pada konsep fungsi dan kedudukan lambing Sembilan di dalam pola
pemikiran masyarakat jawa, konsep Manunggaling Kawula Gusti, dan konsep bentuk
penggunaan lambang kehidupan yang lain. pada intingya konsep ini menggambarkan
perwujudan tertinggi dari hubungan antara manusia dan Tuhannya.
2. Larung
sesaji
Prosesi dilanjutkan
dengan ritual larung sesaji di kolam Air Terjun Sedudo oleh Bupati Nganjuk. Tujuan
dari diadakannya larung sesaji adalah sebagai ucapan syukur kehadirat Tuhan
Yang Maha Esa atas limpahan nikmat yang telah diberikan. Dalam prakteknya larung sesaji memiliki
nilai-nilai kearifan tersendiri.
a. Nilai Religi
Secara vertical makna larung sesaji dalam
budaya jawa mengandung maksud memohon keselamatan, memohon rezeki kepada Tuhan
dan menghormati para leluhur terdahulu.
b. Nilai Kekerabatan
Nilai kekerabatan terlihat ketika masyarakat
sekitar saling bahu-membahu mencukupi kebutuhan untuk mengadakan acara larung
sesaji. Dalam kegiatan ini tak ada perbedaan status dan kasta antara orang yang
berada dan tidak. Semua saling berkerjasama melakukan ritual larung sesaji yang
dianggap sacral oleh masyarakat setempat.
c. Nilai Keindahan
Nilai ini tercermin dari bentuk larung sesaji
itu sendiri yang disusun rapi dengan isi yang bermacam-macam dari hasil bumi
yang menimbulkan suatu kesan keindahan tersendiri. Serta terlihat dari busana
yang dikenakan oleh peserta upacara yang menjadi daya tarik tersendiri untuk
para wisatawan.
d. Nilai Simbolik
Setiap isi dari persembahan sesaji memiliki
makna dan tujuan tersendiri. Misalnya sekar telon gondo wangi, yang terdiri
dari tiga macam bunga yaitu melati, bunga kanthil, dan bunga kenanga. Sekar
telon gondo wangi melambangkan asal manusia yaitudari tunggal yang maksudnya
bersatunya (manunggaling) Tuhan, bapak dan ibu. Juga melambangkan kehidupan
manusia, berkenaan dengan sifat hidup dan kodrat menghidupi, yang membuat
hidup. Adapun kodrat manusia terdiri dari tiga yaitu lahir, berkembang biak dan
mati.[6]
3. Pengambilan
tirta amerta
Setelah usai,
para penari kembali mementaskan tarian. Di akhir pertunjukan tari, Bupati
Nganjuk menyerahkan klenthing kepada sepuluh gadis berambut panjang
sebagai pertanda prosesi ritual Amek
Tirta dilaksanakan. Ritual tersebut dilakukan dengan mengisi klenthing
dengan kucuran air Sedudo.
4. Mandi
bersama
Usai ritual
selesai para pengunjung dan tamu undangan berebut masuk ke kolam Air terjun
Sedudo untuk mandi bersama. Para pengunjung yang berebut untuk mandi
percaya bahwa air dari Air terjun Sedudo memiliki berbagai khasiat magis.
Kepercayaan mengenai khasiat air Sedudo tidak lepas dari sejarah/mitos
terjadinya Sedudo. Ada beberapa pendapat mengenai mitos tersebut.
2.2
Prosesi Upacara Sedudo dalam Konteks Antropologi
Munculnya suatu tradisi di daerah tertentu merupakan salah satu wujud
kortuksi sosial yang erat kaitannya dengan hubungan sosial, yang merupakan
produk sosio-kultural atas kehidupan sehari-hari seorang individu. Kontruksi
sosial pada dasarnya akan terbentuk melalui interaksi antara individu dengan
lingkungan keluarga maupun lingkungan terdekatnya, dalam hal ini pelaku ritual
air terjun sedudo mulai mengenal dan pemahaman tradisi ritual sedudo setelah
disosialisasikan oleh lingkungan keluarga maupun lingkungan terdekatnya. Kemudian
masyarakat akan mulai mengkontruksi sebuah pemaknaan tentang kebudayaan apakah
masih patut dipertahankan dan dilestarikan karena sudah membudaya dalam
masyarakat tersebut. Hal ini dalam
konteks antropologi kebudayaan tentang
tradisi siraman sedudo termasuk dalam
aliran budaya strukturalisme dan fungsionalisme. Penggolongan tersebut sesuai dengan konsep
structural fungsional yang mana kebudayaan pada awalnya dibentuk sesuai dengan
kontruksi yang telah direncanakan dengan fungsi dan tujuan yang telah di
tentukan pula. Kemudian jika pada akhirnya fungsi dari budaya yang telah
dibentuk tadi sudah tidak ada, maka masyarakat akan meninggalkan budaya itu
sendiri.
Adapun pengertian
Strukturalisme sendiri adalah Menurut Levi Straus, merupakan analisa kebudayaan manusia
seperti yang dinyatakan dalam kesenian,pola kehidupan sehari-hari dan
upacara-upacara sebagai perwakilan lahiriyah dari struktur pemikiran manusia . Menurut Durkheim, bahwa manusia tidak ada
artinya tanpa masyarakat karena ide berasal dari masyrakat sehingga kebudayaan
lahir dari pemahaman manusia terhadap masyarakat.[7] Sedangkan
teori fungsionalisme menurut Malinowski adalah semua unsur kebudayaan
bermanfaat bagi masyarakat dimana unsure itu terdapat. Dengan kata lain
pandangan funsionalisme terhadap kebudayaan mempertahankan bahwa setiap pola
kelakuan yang sudah menjadi kebiasaan.
Jadi jika dikaji dari
alirannya, prosesi upacara Sedudo termasuk dalam strukturalisme dan
fungsionalisme. Hal ini dikarenakan dari proses pengadaannya upacara. Upaca siraman air terjun sedudo pada awalnya diadakan untuk melestarikan
warisan nenek moyang yang melakukan tradisi mandi di bawah air terjun.
Masyarakat sekitar tidak berani meninggalkan kebudayaan tersebut karena sejak
dahulu sudah ditanamkan pemahaman kalau masyarakat tidak melakukan kegiatan
tersebut maka daerahnya akan tertimpa bencan. Penanaman pemahaman ini membuat
masyarakat selalu mengkaitkan bencana yang terjadi di daerahnya dengan kegiatan
siraman ini. Sehingga hal ini mengkontruk masyarakat untuk selalu melakukan
upacara. Hal tersebutlah yang masuk kedalam teori structural. Selain itu dalam
masyarakat juga tertanam pemahaman kalau mandi di air terjun sedudo akan
membawa beberapa manfaat berupa awet muda, mudah rezekinya dan masih banyak
lagi. Fungsi-fungsi atau manfaat dari upacara inilah yang masuk kedalam teori
fungsionalisme. Dalam hal ini konteks antropologi menganalisa
kebudayaan manusia dalam pola kehidupan sehari-hari dan upacara-upacara sebagai
perwakilan lahiriah-lahiriah dari struktur pemikiran manusia. Tradisi kebudayaan prosesi mandi di
bawah air sedudo hingga saat ini masih tetap dilaksanakan sampai sekarang. Prosesi
mandi air di Sedudo ini dipercaya sudah berlangsung turun-temurun sejak jaman
Kerajaan Majapahit, namun baru sekitar tahun 1987 prosesi ini dikemas sebagai
kalender budaya dan berlangsung hingga sekarang. Pengemasan kegiatan ini dalam kalender budaya
juga memiliki tujuan tersendiri dari pemerintah daerahnya. Pemerintah daerah
Nganjuk berusah menjadikan upacara ini menjadi salah satu icon pariwisata
daerahnya. Sehingga dengan penjadwalan acara ini diharapkan bisa menarik wisatawan-wisatawan untuk dating
melihat kegiatan upacara yang berguna untuk menambah pemasukan pemerintah
daerah melalui sector pariwisata dan juga untuk lebih mengenalkan daerah
Nganjuk kepada masyarakat luas.
BAB 4 PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Indonesia merupakan Negara kepulauan yang
memiliki tingkat pluralisme yang tinggi. Dari ras dan suku-suku Kebudayaan yang
dimiliki Indonesia sangatlah beragam. Dan asyik untuk di teliti karena tingkat
budaya yang tinggi menjadikan Indonesia merupakan Negara wisata yang menarik
wisatawan baik lokal maupun asing untuk berkunjung ke daerah-daerah yang ada di
Indonesia itu sendiri.
Salah satu contohnya adalah di
desa Ngliman, Kecamatan Sawahan, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur terdapat
Panorama air terjun yang terletak 1.438 meter di atas permukaan air laut. Air
terjun Sedudo dengan tinggi 105 meter berada di kaki Gunung Wilis.[8] Tempat
yang memiliki mitos tersendiri yang diwujudkan dalam ritual siraman air tejun
sedudo yang di amini oleh seluruh masyarakatnya. Dan dalam kajian antropologi kebudayaan tersebut
sesuai dengan teori structural dan fungsional.
4.2 Saran
Kita sebagai generasi
muda yang memegang tongkat estafet kepemimpinan selanjutnya sudah selayaknya
ikut menjaga dan melestarikan budaya yang ada di Negara ini. Supaya budaya yang
sudah ada tidak tergeser oleh budaya asing yang terus gencar berusaha masuk
kedalam pola kehidupan masyarakat kita saat ini. Selain itu seluruh elemen
masyarakat juga harus saling membahu untuk menjaga dan melestarikan budaya
supaya terjadi singkronisasi dan harmonisasi dalam menjalankan kehidupan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Ihromi. T.O, 2006. Pokok-pokok Antropologi
Budaya, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia
Jurnal menelisik nilai-nilai kearifan lokal
dalam upacara tradisi larung sesaji di telaga sarangan desa sarangan kecamatan
plaosan kabupaten magetan
http://www.duniapelajar.com/2014/08/17/pengertian-tradisi-menurut-para-ahli/
www.eastjava.com/tourism/nganjuk/ina/ceremonies.html
http://travel.kompas.com/read/2012/07/27/13142246/Mitos.Air.Terjun.Sedudo
http://rri.co.id/post/berita/116673/budaya/nganjuk_gelar_prosesi_siraman_air_terjun_sedudo.html
[1]http://www.duniapelajar.com/2014/08/17/pengertian-tradisi-menurut-para-ahli/
[4] http://www.duniapelajar.com/2014/08/17/pengertian-tradisi-menurut-para-ahli/
[5] www.eastjava.com/tourism/nganjuk/ina/ceremonies.html
[6] Jurnal menelisik nilai-nilai kearifan
lokal dalam upacara tradisi larung sesaji di telaga sarangan desa sarangan
kecamatan plaosan kabupaten magetan
[7] ibid
[8]
ibid
0 Response to "Makalah Antropologi tentang kebudayaan lokal siraman air terjun sedudo"
Post a Comment